Angkatan 1980 sampai 1990-an

Angkatan 1980 sampai 1990-an dalam Sastra Indonesia

Membicarakan angkatan 1980 sampai 1990-an membuat saya mau tidak mau harus mengingat masa pemerintahan orde baru di Indonesia. Kala itu, Presiden Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia. Pemerintahan beliau telah berlangsung sejak 1968 setelah berkhirnya era orde lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Masyarakat mengenal pemerintahan orde baru dengan berbagai program pembangunan ekonomi dan upaya-upaya pemerintah untuk menstabilkan politik. Lalu, apakah kondisi tersebut berhubungan dengan angkatan sastra 80 sampai 90-an di Indonesia?

Kelahiran Angkatan 1980 sampai 1990-an

Sedikit membicarakan masa Orde Baru, pemerintahan kala itu memiliki salah satu fokus programnya pada pembangunan sektor ekonomi. Dalam kebijakan-kebijakannya, kita akan menemukan pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan peningkatan investasi dari pihak asing. Maka, selama beberapa dekade ke depan, perekonomian di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Sementara itu, pemerintah juga menekankan kestabilan politik sebagai dasar bagi program pembangunan yang sedang berjalan. Untuk mencapai kestabilan itu, pemerintah Indonesia pada masa itu pun melakukan berbagai cara. Di antaranya adalah pengendalian ketat terhadap aktivitas politik dan pembatasan kebebasan berpendapat. Akibatnya, kelompok-kelompok yang disinyalir berpotensi mengganggu stabilitas pun harus mengalami tekanan hingga pemberangusan.  

Di sisi lain, aspek sosial dan budaya pun menerima imbas dari ketatnya proses kontrol pemerintah tersebut. Berbagai media massa, seni, dan sastra mendapat sensor. Sebab, pemerintah menggunakan hukum dan birokrasi untuk membatasi berbagai produk seni dan budaya yang dianggap kritis atau mengecam pemerintahan. Maka, tidak mengherankan jika angkatan 1980 sampai 1990-an cenderung mengangkat tema romansa atau percintaan dan kehidupan. Dengan kata lain, sastra pada angkatan 80 hingga 90-an ini berjalan seiring dengan kehidupan masyarakat di bawah naungan negara sebagai pemerintah.

Ciri-Ciri Angkatan Sastra 1980 sampai 1990-an

Berdasarkan kondisi politik yang terjadi pada masa tersebut, kita dapat melihat beberapa hal yang menggambarkan karya sastra pada angkatan ini. Tentunya, kita harus mengakui bahwa pembatasan yang dilakukan pemerintah membuat kebebasan berkarya dalam bidang seni dan budaya pada masa itu menjadi terkekang. Hal ini mengakibatkan minimnya kandungan yang relevan dengan kenyataan sosial politik saat itu dalam karya-karya sastra.

Sebaliknya, kita akan lebih banyak menemukan sastra-sastra beraliran pop, yang umumnya bertema percintaan dan kisah-kisah kehidupan. Namun, kita pun tidak dapat menafikan keluasan wawasan estetika dalam karya-karya tersebut. Tuntutan untuk meminimalisasi kandungan politik dan realitas sosial justru mendorong penekanan pada pemikiran-pemikiran mendalam tentang kehidupan dengan penyampaian yang lebih kreatif lagi.  

Tidak sedikit pula karya sastra yang mengangkat tema religi, ketuhanan, dan mistikisme, khususnya dalam genre puisi. Di sisi lain, kita pun mendapati pertentangan pemikiran antara budaya Barat dan Timur dalam konflik-konflik yang tersaji dalam karya berbentuk prosa. Tentunya, semua itu berkaitan dengan globalisasi yang mulai menunjukkan pengaruhnya. Sederhananya, bila kita membandingkan angkatan ini dengan sebelumnya, angkatan 80 sampai 90-an cenderung menekankan pada hal-hal personal, introspektif, dan mengeksplorasi wacana mengenai identitas dari sebuah keberadaan.

Penulis Angkatan 1980 sampai 1990-an dan Karyanya

Dalam angkatan 80 sampai 90-an ini, kita mendapatkan nama-nama sasrawan seperti Remy Sylado, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, dan Tajuddin Noor Ganie. Di samping itu, kita juga akan berkenalan dengan penulis wanita, seperti Nh. Dini dan Mira W.  

Mira W.

Selama ini, kita lebih mengenal Mira Widjaja sebagai Mira W. Lahir pada tanggal 13 September 1951 di Jakarta, Mira W. merupakan salah satu penulis populer di Indonesia. Karya-karyanya kerap mengangkat tema percintaan dan kehidupan keluarga. Mira W. berasal dari keluarga Tionghoa-Indonesia yang kaya akan tradisi sastra dan budaya. Hal ini mempengaruhi minatnya dalam menulis sejak usia dini. Ia memulai karir menulisnya pada tahun 1970-an dan sejak itu telah menghasilkan puluhan novel yang laris di pasaran.

Di sisi lain, gaya penulisan Mira W. yang mengalir dan mudah dicerna menjadikannya populer di kalangan pembaca muda. Tema-temanya yang sering kali terkait dengan percintaan, keluarga, dan drama kehidupan sehari-hari, membuat karyanya relevan dan menarik bagi berbagai lapisan masyarakat.

Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  • Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi (1975)
  • Permainan Bulan Desember (1977)
  • Dari Jendela SMP (1983)
  • Ketika Cinta Harus Memilih (1987)
  • Matahari di Batas Cakrawala (1991)
  • Di Bahumu Kubagi Dukaku (1996)

Nh. Dini

Wanita bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini adalah salah satu penulis wanita terkemuka di Indonesia. karya-karyanya sering mengangkat tema feminisme dan eksplorasi peran wanita dalam masyarakat. Nah, mungkin belum banyak yang mengerahui bahwa beiau ini adalah ibu dari Pierre Coffin, sutradara terkenal yang menciptakan karakter Minions.

Nh. Dini mulai menulis sejak masih muda dan karya-karyanya menggambarkan pengalaman hidup wanita, baik dalam konteks pribadi maupun sosial. Di sisi lain, gaya penulisannya yang reflektif kerap menggunakan pengalaman pribadinya sebagai bahan baku cerita. Maka, tak heran ia pun berhasil menyoroti isu-isu gender dan peran wanita dalam masyarakat dengan cara yang autentik dan menyentuh.

Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  • Pada Sebuah Kapal (1973)
  • Namaku Hiroko (1977)
  • Keberangkatan (1987)

Hilman Hariwijaya

Kalau ada yang masih mengingar serial Lupus yang pernah menghiasi pertelevisian Indonesia, inilah pengarang novelnya. Hilman Hariwijaya, kelahiran 25 Agustus 1964, adalah seorang penulis yang terkenal di Indonesia, khususnya kalangan remaja pada era 1980-an hingga 1990-an. Hilman merupakan salah satu penulis yang mampu menggambarkan kehidupan remaja warna-warni dengan gaya yang humoris.

Memulai karier menulisnya sebagai penulis cerita bersambung di sebuah majalah remaja, seri novel Lupus menjadi karyanya yang paling terkenal.  Gaya penulisannya yang santai, penuh humor, dan menggambarkan kehidupan nyata para remaja membuatnya menjadi penulis favorit di kalangan remaja Indonesia.

Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  • Lupus – 28 novel (1986-2007)
  • Lupus Kecil – 13 novel (1989-2003)
  • Olga Sepatu Roda (1992)
  • Lupus ABG – 11 novel (1995-2005)

Remy Sylado

Remy Sylado adalah nama pena dari Yapi Tambayong. Pria kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan ini adalah seorang penulis, penyair, musisi, dan seniman multitalenta. Karya-karya Remy seringkali memiliki gaya yang unik dan menggabungkan berbagai genre. Remy Silado memiliki karer yang luas dan beragam dalam dunia seni dan sastra. Ia memulainya sebagai wartawan majalah Tempo hingga menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung pada 1971.

Remy menulis kritik, puisi, cerpen, dan novel sejak masih berusia 18 tahun. Ia juga menulis drama, kolom, esai, sajak, roman populer, buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, hingga teologi. Keberanian Remy menghadapi pandangan umum melalui pementasan-pementasan drama membuatnya terkenal. Di samping itu, Remy Sylado merupakan salah satu pelopor penulisan Puisi Mbeling bersama Abdul Hadi WM.

Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  • Ca-Bau-Kan (Novel, 1999)
  • Kerudung Merah Kirmizi (Novel, 2002)

Seno Gumira Ajidarma

Selain penulis, pria kelahiran Boston, Amerika Serikat pada 19 Juni 1958 ini adalah seorang jurnalis, dan akademisi. Ia terkenal dengan karya-karya fiksi dan non-fiksinya yang kritis terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia. Seno Gumira Ajidarma memulai kariernya sebagai jurnalis sebelum kemudian beralih menjadi penulis fiksi.

Alasannya, dengan menjadi seniman, ia bisa menjalani hidup lebih santai dan berpenampilan nyentrik dengan rambut gondrong. Beliau pun mengutarakan bahwa Rendra merupakan sosok yang menginspirasinya dalam hal ini. Karyanya sering kali mengangkat isu-isu sosial dan politik dengan gaya yang tajam dan reflektif.

Beberapa karya terkenalnya antara lain:

  • Saksi Mata (1994)
  • Jazz, Parfum, dan Insiden (1996)
  • Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997)

Sebenarnya, saya hendak menutup tulisan mengenai angkatan 1980 sampai 1990-an ini di sini. Namun, kurang lengkap rasanya jika saya tidak membahas sosok seniman yang karya-karyanya sempat menjadi influence bagi saya dalam menulis puisi, yaitu Afrizal Malna.

Afrizal Malna

Afrizal Malna adalah salah satu penyair dan penulis kontemporer terkemuka di Indonesia. Gaya penulisannya unik dan berhasil menembus konvensi perpuisian Indonesia dengan inovasinya. Beliau kerap mengeksplorasi tema-tema urban, sosial, dan politik dengan pendekatan yang segar dan kreatif. Mulai menulis puisi sejak akhir 1970-an, Afrizal Malna telah menerbitkan berbagai karya yang mencerminkan perkembangan sastra Indonesia kontemporer.

Karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai sastra telah mengisi berbagai media massa. Di samping itu, beliau juga menulis naskah teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Selain kehidupan urban, karya Afrizal Malna memiliki ciri khas dengan tema dunia modern dan objek material dari lingkungan tersebut. Seolah, beliau mampu menghidupkan kembali makna puitik dari sebuah objek yang biasa-biasa saja dan menciptakan hubungan antara setiap objek lainnya.

Beberapa karya Afrizal Malna antara lain:

  • Abad yang Berlari (1984)
  • Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
  • Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
  • Kalender Bahasa (1995)
  • Pistol Perdamaian (1996)
  • Lubang dari Separuh Langit (2005)
  • Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2008)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *