Periodisasi Sastra Angkatan 1966

Periodisasi Sastra Angkatan 1966 – Kelahiran dan Karakteristiknya

Jika pada angkatan sastra 1950-an kita mengenal nama W.S. Rendra dan kawan-kawan, kita akan mendapati sosok yang tak kalah menggemparkan pada periodisasi sastra angkatan 1966. Pasalnya, periodisasi sastra pada masa ini sangat akrab dengan kontroversi. Kontroversi-kontroversi itu merupakan dampak gejolak politik dan sosial yang terjadi pada era tersebut. Di sini, kita akan menemukan nama-nama besar seperti H.B. Jassin, Goenawan Mohammad, hingga Sapardi Djoko Damono.

Periodisasi Sastra Angkatan 1966 dan Latar Belakang Kelahirannya

Pada tahun 1965, Indonesia mengalami krisis politik besar. Saya, termasuk pembaca sekalian, tentunya pernah mendengar peristiwa dengan nama G30S/PKI. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perubahan besar dalam peta politik Indonesia. Di sisi lain, peristiwa ini juga seakan menjadi penanda akan runtuhnya pemerintahan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden. Dengan demikian, masa transisi ini pun membawa dampak signifikan pada kehidupan budaya dan sastra Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ideologi politik kiri seakan mendominasi dunia sastra di Indonesia. Banyak menganggap hal ini berkaitan erat dengan pengaruh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Namun, setelah peristiwa tahun 1965, banyak penulis-penulis Lekra yang mengalami penangkapan, pengasingan, hingga pembatasan ruang gerak. Maka, hal ini pun membuka jalan bagi munculnya generasi penulis baru yang bebas dari ideologi Lekra.

Terbitnya sebuah majalah sastra bernama Horison pada tahun 1966 menjadi tanda kelahiran angkatan 1966 ini. Pada masa ini, kita akan banyak menemukan karya sastra bernuansakan semangat avant-garde, yaitu karya-karya sastra yang berusaha menembus batas dan norma dalam satu budaya. Maka, tak heran jika dalam era ini karya-karya beraliran surealis hingga absurd pun banyak bermunculan. Selain nama-nama yang telah saya sebutkan di awal tulisan ini, kita juga dapat  menemukan sastrawan dari angkatan 1950-an seperti Motinggo Busye dan dan Satyagraha Hoerip Soeprobo. Di samping itu, satu penerbit bernama Pustaka Jaya pun memiliki peran besar dalam penerbitan karya-karya sastra pada masa ini.

Periodisasi Sastra Angkatan 1966 dan Karakteristiknya

Angkatan 1966 memiliki karakteristik yang berbeda dari angkatan sebelumnya. Salah satu ciri utama adalah kebebasan berekspresi dan keberanian mengangkat tema-tema sosial, politik, dan eksistensial. Padahal, pada masa sebelumnya, tema-tema tersebut berada dalam kategori pembahasan yang tabu. Sederhananya, para sastrawan pada masa ini membebaskan diri dari kaidah atau standar estetika bawaan Lekra. Mereka lebih memilih gaya yang bebas, personal, dan berani mencoba sesuatu yang baru.

Pada masa ini, kita juga mendapati penggunaan bahasa yang lebih lugas dan terbuka dalam karya sastra. Para sastrawan kerap memakai bahasa sehari-hari dan memasukkan unsur-unsur budaya populer dalam karya mereka. Di samping itu, mereka juga mengangkat tema atau permasalahan yang lebih variatif. Misalnya, kritik sosial, pencarian identitas, bahkan kita dapat menemukan karya yang mengandung isu-isu psikologis dan filosofis.

Terdapat pula sebuah pandangan yang mengelompokkan angkatan ini menjadi dua, yaitu antara 1960 sampai 1966 dan antara 1966 hingga 1970, jika mendasarkan pada waktu atau masa peredaran karya-karya sastranya. Dari sisi genre, dalam angkatan 1966 ini kita akan mendapati banyak puisi yang menggambarkan kemuraman dan penderitaan dalam kehidupan. Sementara itu, masalah-masalah seputar kemasyarakatan masih menjadi bahan andalan bagi karya-karya berbentuk prosa. 

Periodisasi Sastra Angkatan 1966 – Sastrawan dan Karya-Karyanya

Goenawan Mohamad

Sebagai salah satu pendiri majalah Tempo, pembaca mengenal Goenawan Mohamad melalui esai-esainya yang tajam dan reflektif. Karyanya sering kali mengangkat tema-tema sosial dan politik dengan gaya bahasa yang indah dan mendalam. Pria bernama lengkap Goenawan Soesatyo Mohamad ini adalah seorang penyair, esais, editor, dan penulis naskah drama.

Meskipun majalah yang ia dirikan ditutup akibat sikapnya yang vokal dalam mengkritik pemerintah Indonesia, beliau pun memenangkan berbagai penghargaan untuk karya jurnalistiknya. Di antaranya adalah CPJ International Press Freedom Awards (1998), International Editor of the Year Award (1999), hingga Dan David Prize (2006).

Karya-Karya Goenawan Mohammad antara lain:

  • Parikesit (1969)
  • Interlude (1971)
  • Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
  • Seks, Sastra, dan Kita (1980)
  • Sajak-sajak Lengkap, 1961-2001 (2001)

Taufiq Ismail

Taufiq Ismail adalah salah satu penyair terkemuka dari angkatan ini. Puisinya banyak mengangkat isu-isu kemanusiaan, kebebasan, dan kritik sosial. Lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur, beliau menghabiskan masa SD-nya di tiga kota berbeda, yakni Solo, Semarang, dan Yogjakarta. Namun, Taufik Ismail justru menjalani masa SMP di Bukittinggi dan SMA-nya di Pekalongan.

Tumbuh besar dalal lingkup keluarga guru dan jurnalis yang suka membaca, Taufiq Ismail memiliki cita-cita menjadi sastrawan saat duduk di bangku SMA. Akan tetapi, karena ingin memiliki sebuah usaha yang dapat menghidupi cita-citanya itu, beliau memilih profesi sebagai dokter hewan. Di sisi lain, beliau juga ahli dalam bidang peternakan dan ingin memiliki peternakan sendiri. Sayangnya, sejak tamat dari FKHP-UI Bogor pada tahun 1963, beliau belum dapat mewujudkan keinginan dalam usaha ternak tersebut.

Karya-Karya Taufiq Ismail di antaranya:

  • Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
  • Tirani dan Benteng
  • Buku Tamu Musim Perjuangan
  • Sajak Ladang Jagung
  • Kenalkan
  • Saya Hewan
  • Puisi-puisi Langit

Sapardi Djoko Damono

Sapardi merupakan salah satu maestro dalam perpuisian Indonesia. Puisi-puisinya menggunakan diksi dan gaya yang sederhana, tetapi kita, khususnya saya, tak pernah meragukan kedalaman kandungan maknanya. Karya-karyanya, seperti “Hujan Bulan Juni”, “Aku Ingin”, dan yang lainnya kerap mengeksplorasi tema-tema cinta, alam, hingga kehidupan sehari-hari dengan bahasa yang puitis.

Putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian ini telah menulis dan mengirimkan karya-karyanya ke majalah-majalah sejak SMA. Kecintaannya terhadap dunia penulisan semakin tumbuh dan berkembang saat menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Jurusan Sastra Barat, Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM, Yogyakarta. Beliau berkarier sebagai dosen di sejumlah universitas dan redaktur di banyak majalah.

Karya-Karya Sapardi Djoko Damono antara lain:

  • Duka-Mu Abadi (1969; kumpulan puisi 1967-1968)
  • Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
  • Perahu Kertas (1983; kumpulan puisi)
  • Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
  • Hujan Bulan Juni (1994; kumpulan puisi 1959-1994)
  • Arloji (1998; kumpulan puisi)
  • Sepasang Sepatu Tua (2019; kumpulan cerpen)
  • Segi Tiga (2020; novel)
  • Mboel: 80 Sajak (2020; kumpulan puisi)

Putu Wijaya

Pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir 11 April 1944) adalah seorang sastrawan yang serba bisa. Pasalnya, selain seorang penulis drama, beliau juga menulis cerpen, esai, novel, skenario film, bahkan sinetron. Di samping itu, beliau juga menjadi tokoh dalam bidang teater dan pelukis. Sebagai penulis dan dramawan, karya-karya Putu Wijaya umumnya bersifat eksperimental dan absurd. Beliau kerap mengangkat tema-tema tentang kemustahilan dan kegilaan manusia dalam kehidupan.

Sebagai sastrawan, Putu Wijaya telah menghasilkan setidaknya 30 novel, 40 naskah drama, dan banyak kurang lebih ratusan esai, artikel, kritik, dan kurang lebih seribu cerpen. Saya belum memasukkan berapa jumlah skenario film dan sinetron yang beliau tulis. Di samping itu, di bawah kepemimpinannya, sejak tahun 1971, Teater Mandiri telah mementaskan puluhan lakon, baik di dalam maupun di luar negeri. Mungkin, pembaca sekalian bisa melakukan pencarian sendiri berkenaan dengan lakon-lakon yang telah beliau pentaskan.

Di sini, saya hanya akan menampilkan beberapa karya Putu Wijaya yang berupa cerpen. Untuk karya lainnya, Anda bisa mencari sendiri demi membuktikan betapa luar biasanya produktivitas beliau.

  • Bom (1978, kumpulan cerpen)
  • Es Campur (1980)
  • Gres (1982)
  • Klop
  • Bor
  • Protes (1994)
  • Darah (1995)
  • Yel (1995)
  • Blok (1994)
  • Zig Zag (1996)
  • Tidak (1999)
  • Peradilan Rakyat (2006)
  • Keadilan (2012)

Angkatan Sastra 1966

Akhirnya, selain nama-nama kondang di atas, periodisasi sastra angkatan 1966 juga memiliki banyak sastrawan yang tak kalah luar biasa. Misalnya, kita akan mendapati nama-nama Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Wisran Hadi, dan Wing Kardjo.

Di situ, saya belum mencantumkan nama H.B. jassin karena beliau berada dalam tataran yang menurut saya cukup khusus. Singkatnya, saya sedang menyusun satu tulisan tersendiri tentang sosok yang mendapat sebutan Paus Sastra Indonesia tersebut. Kemudian, di akhir tulisan ini, mungkin pembaca akan bertanya-tanya apakah sastrawan pada periodisasi ini juga masuk ke dalam angkatan 1970-an? Jawabannya, ya. Dan, semoga pada kesempatan berikutnya kita dapat membicarakan lebih lanjut tentang angkatan 1970-an itu.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *