Angkatan Sastra Indonesia Pascareformasi

Angkatan Sastra Indonesia Pascareformasi – Angkatan 2000-an

Pada dasarnya, baik angkatan sastra reformasi maupun angkatan sastra Indonesia pascareformasi merupakan golongan yang berada pada era sastra indonesia angkatan 2000-an. Sebab, wacana tentang kemunculan angkatan reformasi seolah tidak mendapat pengakuan karena tidak memiliki seseorang sebagai juru bicara. Kemudian, seorang kritikus sastra Indonesia melempar wacana tentang angkatan sastra 2000-an. Namun, saya tetap menuliskan judul angkatan sastra Indonesia pascareformas itu untuk memetakan pengarang-pengarang yang muncul sejak tahun 2005 hingga saat ini.

Sastra Indonesia Angkatan Pascareformasi dan Latar Belakang Kelahirannya

Pada tahun 2002, seolah menyambut wacana dari Korrie Layun Rampan itu, penerbit Gramedia Jakarta menerbitkan buku Sastrawan Angkatan 2000. Dalam buku tersebut, Korrie Layun Rampan memasukkan lebih dari seratus cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra ke dalam angkatan 2000. Kita akan menemukan nama-nama Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, dan sebagainya.

Sayangnya, hal itu belum mencakup pengarang yang merupakan pendatang baru pada tahun 2000-an. Meski demikian, antologi ini memainkan peran penting dalam mendefinisikan dan mengkategorikan angkatan sastra baru yang muncul setelah reformasi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita mengatakan kemunculan angkatan ini sangat berkaitan dengan peran besar Korrie Layun Rampan.

Sederhananya, angkatan sastra Indonesia pascareformasi lahir sebagai respons terhadap perubahan sosial dan politik yang terjadi setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Reformasi membawa perubahan signifikan dalam kebebasan berekspresi, membuka ruang yang lebih luas bagi para penulis untuk mengemukakan gagasan mereka.

Sastra Indonesia Angkatan Pascareformasi dan Karakteristiknya

Sejak era 2000-an, banyak bermunculan penulis wanita yang mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan cara dan gaya yang lebih berani. Bahkan, mereka tidak segan menampilkan nuansa yang erotik atau hal-hal yang beraroma sensual. Dengan kata lain, pascareformasi, khazanah sastra di Indonesia memiliki beragam karakteristik  yang mencerminkan kebebasan berekspresi sekaligus pluralitas masyarakat Indonesia. Setidaknya, kita dapat memetakan karakteristik-karakteristik tersebut sebagai berikut:

  1. Banyak mengusung tema romantik maupun sosial politik.
  2. Penggunaan bahasa cenderung lebih lugas dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
  3. Terdapat penggunaan tipografi yang berbeda dalam puisi dan memunculkan bentuk puisi konkret.
  4. Penggunaan kaidah estetika antropomorfisme, yaitu pengenaan sifat-sifat manusia pada binatang tumbuhan, atau benda mati.
  5. Kecenderungan penggambaran konkret melalui alam dalam karya-karya bertema religius.
  6. Selain tema kritik sosial yang lebih keras, tema-tema gender, dan feminisme pun mulai bermunculan seiring dengan banyaknya kemunculan sastrawan perempuan.

Di samping hal-hal yang ada di atas, kita juga dapat menemukan penulis-penulis pascareformasi yang terlibat dalam aktivitas sosial dan politik. Mereka menggunakan karya sastranya sebagai sarana untuk mempengaruhi perubahan sosial. Artinya, dalam konteks ini, sastra telah menjadi medium untuk menyampaikan pesan-pesan yang mendalam dan provokatif.

Selain itu, era internet pun menjamah komunitas sastra di Indonesia. Para penulis tidak hanya memublikasikan karya mereka dalam bentuk buku, tetapi juga dalam dunia maya. Contohnya, kita dapat menyebutkan nama Medy Loekito sebagai pioner era ini pada awal dasawarsa 2000-an. Kala itu, ia mengelola sebuah laman sastra Cybersastra.net.

Sastra Indonesia Angkatan Pascareformasi dan Beberapa Sastrawannya

Andrea Hirata

Pemilik nama lengkap Andrea Hirata Seman Said Harun ini adalah novelis Indonesia asal Pulau Belitung, provinsi Bangka Belitung. Namun, sebagaimana banyak orang, kita memanggilnya Andrea Hirata. Penggemar sains, astronomi, dan sastra ini menyebut dirinya sebagai akademisi dan backpacker.

Andrea Hirata menulis novel Laskar Pelangi berdasarkan pengalaman masa kecilnya di Belitung. Ia merampungkan novel ini selama enam bulan. Di dalamnya, ia menggambarkan kurangnya akses pendidikan bagi anak-anak dan masyarakat pada salah satu pulau terkaya di dunia. Uniknya, Andrea mengemas ironi tersebut dengan perpaduan bahasa sains dan humor. Novel pertamanya itu berlanjut hingga menghasilkan sebuah tetralogi.

Berikut ini beberapa karya Andrea Hirata:

  • Tetralogi Laskar Pelangi: Laskar Pelangi (2005); Sang Pemimpi (2006); Edensor (2007) dan Maryamah Karpov (2008)
  • Cinta di Dalam Gelas (2010)
  • Padang Bulan (2010)
  • Ayah (2015)

Ahmad Fuadi

Selain pernah bekerja sebagai wartawan, pria kelahiran 30 Desember 1973 ini adalah seorang novelis dan pekerja sosial. Novel Negeri 5 Menara adalah buku pertama dari trilogi karangannya. Lulus dari Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Ahmad Fuadi berkuliah di jurusan HI Unpad. Ia pun sempat merantau ke Washington DC bersama istrinya yang juga seorang wartawan.

Pendiri Komunitas Menara, sebuah yayasan untuk membantu pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, ini mendapat beasiswa Chevening. Maka, ia pun mempelajari film dokumenter di Royal Holloway, University of London. Bahkan, Ahmad Fuadi pernah menjadi Direktur Komunikasi di The Nature Conservancy.

Berikut ini adalah beberapa karya Ahmad Fuadi:

  • Negeri 5 Menara (2009)
  • Ranah 3 Warna (2011)
  • Rantau 1 Muara (2013)
  • Anak Rantau (2017)

Benny Arnas

Penulis buku berbagai genre ini menyukai petualangan. Baginya, pertemuan dengan orang-orang baru merupakan sebuah inspirasi untuk dapat menulis dalam perjalanan. Meski demikian, ia memiliki prinsip bahwa menulis adalah sebuah proses yang membutuhkan persiapan dan kesabaran. Dengan demikian, kita dapat menjadi seorang penulis yang produktif dan kreatif.

Benny baru menulis saat memasuki usia 25 tahun. Namun, akselerasinya selama dua tahun membuat cerpen dan esainya tersebar di berbagai media massa, seperti Kompas, Republika, Tempo, Horison, dan sebagainya. Keberanian anak pertama dari empat bersaudara ini menempuh jalan hidup sebagai seniman telah membuka peluang bagi saudara-saudaranya yang lain.

Berikut ini adalah beberapa karya Benny Arnas

  • Cinta Tak Pernah Tua (2014)
  • Kepunan (2016)
  • Curriculum Vitae (2017)
  • Cinta Menggerakkan Segala (bersama Helvy Tiana Rosa) untuk film 212: The Power of Love (2018)
  • Hayya (bersama Helvy Tiana Rosa) untuk film Hayya (2019)
  • Cinta di Bawah Cahaya untuk film Hayya 2 (2022)

Ilana Tan

Orang Indonesia mengeal Ilana Tan sebagai penulis tetralogi empat musim. Uniknya, ia menyajikan masing-masing novel tersebut dengan laar yang berbeda-beda. Di samping itu, tokoh dari novel-novel itu memiliki keterkaitan. Beberapa novel dari tetralogi tersebut dan novel lain karangannya telah mendapat penggubahan menjadi film. Satu hal yang menarik dari Ilana Tan adalah sosoknya yang misterius sebab ia tak pernah mencantumkan profil dan keterangan tentang dirinya pada bagian belakang novelnya sendiri.

Beberapa karya Ilana Tan adalah

  • Summer in Seoul (2006)
  • Autumn in Paris (2007)
  • Winter in Tokyo (2008)
  • Spring in London (2010)
  • Sunshines Becomes You (2012)
  • Autumn Once More (2013)
  • Seasons to Remember (2013)
  • In a Blue Moon (2015)
  • The Star and I (2021)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *