Angkatan Sastra Reformasi Indonesia

Angkatan Sastra Reformasi Indonesia – Kembalinya Kebebasan

Saya masih mengingat, walaupun samar, bagaimana ketegangan yang ada di Indonesia, termasuk Surabaya, sekitar tahun 1998. Kala itu, saya masih duduk di bangku SMP sehingga belum terlalu memahami apa yang sebenarnya terjadi di negeri kita tercinta ini. Beberapa waktu setelahnya, barulah saya agak mengerti tentang peristiwa yang terjadi pada masa itu. Khususnya, setelah saya ikut merasakan akibatnya dalam kondisi finansial keluarga kami. Namun, kali ini saya tak hendak menyajikan keluh-kesah pahitnya kehidupan dalam kurun waktu tersebut. Kita akan sedikit membicarakan peristiwa tahun 1998 itu dalam kaitannya dengan angkatan reformasi sastra Indonesia.

Peristiwa Reformasi di Indonesia

Peristiwa reformasi 1998 di Indonesia merupakan salah satu titik balik penting dalam sejarah politik dan sosial negara ini. Berawal dari krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto mencapai puncaknya pada tahun 1998. Reformasi ini tidak hanya mengguncang dunia politik, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap dunia sastra di Indonesia.

Reformasi 1998 merupakan gerakan besar yang bertujuan untuk mengakhiri rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Hal-hal yang memicu peristiwa ini adalah krisis ekonomi yang mengakibatkan tingginya inflasi, pengangguran, dan kemiskinan. Maka, rakyat Indonesia pun menyuarakan ketidakpuasannya terhadap pemerintahan yang korup dan otoriter. Di berbagai kota, rakyat dan mahasiswa pun melakukan demonstrasi besar-besaran. Puncaknya, pada Mei 1998, ribuan mahasiswa turun ke jalan dan menuntut reformasi total terhadap pemerintahan Indonesia.

Besarnya aksi demonstrasi itu memberikan tekanan pada pemerintahan rezim Orde Baru. Belum lagi, aksi-aksi massa yang kian meluas dan kerap berdampak pada kerusuhan. Maka, kondisi tersebut memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, setelah berkuasa selama 32 tahun. Pengunduran diri tersebut menandai akhir era Orde Baru sekaligus awal bagi era Reformasi. Sebuah era di mana rakyat memperjuangkan kebebasan berekspresi, demokrasi, dan hak asasi manusia untuk mendapatkan tempatnya kembali.

Kelahiran Angkatan Reformasi Sastra Indonesia

Ketika itu, Indonesia sempat mengalami beberapa kali pergeseran kekuasaan dalam pemerintahan. Mulai dari Soeharto ke B.J. Habibie, kemudian K.H. Andurahman Wahid atau Gus Dur, hingga Megawati Sukarnoputri. Seiring peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu 1998 sampai 2004 itu, wacana tentang sastrawan Angkatan Reformasi pun mencuat ke permukaan. Karya-karya sastra, baik puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, terutama seputar peristiwa pada masa reformasi menandai kemunculan wacana ini.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa era reformasi membawa angin segar dalam dunia sastra Indonesia. Sebab, kebebasan berekspresi, yang sebelumnya terkekang, menemukan kembali peluangnya untuk berkembang pada masa ini. Tentunya, momen tersebut memungkinkan para sastrawan untuk menyuarakan pikiran dan perasaan mereka tanpa takut akan sensor atau pembatasan, bahkan tekanan dari pemerintah.

Angkatan reformasi dalam sastra Indonesia pun menjejakkan kakinya dengan semangat baru untuk mengeksplorasi tema-tema sosial, politik, dan humanisme. Di sisi lain, penerbit independen dan majalah sastra pun kembali bermunculan. Maka, penulis-penulis muda pun memiliki ruang lebih untuk berkarya. Pada masa ini, sastra menjadi media penting dalam menyuarakan aspirasi dan kritik terhadap kondisi sosial dan politik yang ada.

Karakteristik Angkatan Reformasi Sastra Indonesia

Karya sastra angkatan reformasi memiliki beberapa karakteristik yang mencerminkan semangat zaman. Salah satu ciri utamanya adalah tema-tema sosial dan politik yang kuat. Kini, para sastrawan tak lagi ragu atau takut untuk mengangkat isu-isu seperti korupsi, ketidakadilan, hak asasi manusia, dan perjuangan rakyat. Mereka menggunakan sastra sebagai alat untuk menyuarakan kritik dan refleksi terhadap kondisi pada saat itu.

Selain itu, karya sastra angkatan reformasi juga cenderung lebih realistis dan kritis. Penulis-penulisnya menggunakan gaya yang lugas untuk menyampaikan pesan dengan jelas dan tegas. Mereka tidak lagi bersembunyi di balik simbolisme atau metafora yang rumit, tetapi lebih memilih pendekatan yang lebih transparan dan mudah dipahami. Di sisi lain, kita pun menemukan banyak karya yang bernuansa religius, bahkan memiliki kandungan sufistik.

Di samping itu, kita juga masih menemukan eksperimen terhadap bentuk dan gaya penulisan. Hal ini menandakan keterjagaan kreativitas dari para penulis. Mereka kerap mencoba teknik naratif baru dan mencampurkan berbagai genre dan gaya dalam karya mereka. Selain mencerminkan kebebasan kreatif yang mereka nikmati dalam era reformasi, hal ini mengakibatkan banyaknya sastrawan baru baru yang muncul dan membawa angin segar dalam kesusastraan Indonesia

Sastrawan Angkatan Reformasi Sastra Indonesia

Salah satu nama yang menonjol dalam angkatan reformasi sastra Indonesia adalah Ayu Utami. Novelnya yang berjudul Saman (1998) adalah salah satu karya penting dalam angkatan ini. Saman mengangkat tema-tema sosial dan politik dengan gabungan realisme dan surealisme. Tidak hanya mendapat sambutan hangat dari pembaca, novel ini juga memenangkan berbagai penghargaan sastra. Kemudian, kita juga mengenal nama Eka Kurniawan. Dengan gaya penulisan yang unik, ia menggabungkan aliran realisme dan kritik sosial yang tajam. Selain memasukkan sisi magis dalam karyanya, ia juga sering mengangkat tema korupsi dan ketidakadilan.

Ayu Utami

Selain sastrawan, wanita bernama lengkap Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami adalah aktivis dan jurnalis berkebangsaan Indonesia. Ia tumbuh besar di Jakarta dan menyelesaikan kuliah bahasa Rusia di Fakultas Sastra UI. Dalam kariernya, Ayu Utami pernah menjadi wartawan di beberapa majalah, seperti Humor dan Matra.

Pada masa Orde Baru, kita mendapati bahwa pemerintah menutup beberapa media massa yang cukup besar, seperti Tempo dan Detik. Setelah peristiwa itu, Ayu bergabung dengan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan memulai gerakan yang memprotes pembredelan

Beberapa karya Ayu Utami:

  • Novel Saman (1998)
  • Novel Larung (2001)
  • Kumpulan Esai Si Parasit Lajang (2003)
  • Novel Bilangan Fu (2008)
  • Novel Manjali Dan Cakrabirawa (2010)

Eka Kurniawan

Pria kelahiran 28 November 1975 ini merupakan alumni Fakultas Filsafat UGM Yogjakarta. Ia berhasil terpilih sebagai salah satu Global Thinkers of 2015 dari jurnal Foreign Policy. Tahun 2016, ia menjadi penulis Indonesia pertama yang mendapat nominasi untuk Man Booker International Prize.

Eka Kurniawan menerbitkan skripsinya yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis sebagai buku dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Sekilas info, saya sempat menggunakan buku tersebut sebagai salah satu sumber referensi utama untuk skripsi saya sendiri. Tentunya, selain karya nonfiksi tersebut, ia telah melahirkan banyak kasya sastra.

Berikut adalah beberapa cerpen dan novel karangan Eka Kurniawan:

  • Corat-coret di Toilet (2000).
  • Cantik itu Luka (novel, 2002).
  • Lelaki Harimau (novel, 2004).
  • Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (cerpen, 2005).
  • Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (novel, 2014).

Selain dua nama tersebut, kita masih akan menemukan banyak nama terkenal lainnya. Seperti, Dewi Lestari yang fenomenal dengan Supernova dan “Filosofi Kopi”; Djenar Maesa Ayu dengan Mereka Bilang Saya Monyet; Fira Basuki dengan trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap. (2001); serta masih banyak lagi. Namun, saya akan mengakhiri tulisan singkat mengenai angkatan reformasi sastra Indonesia ini dengan satu nama yang fenomenal, yaitu Wiji Thukul.

Wiji Thukul

Wiji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis. Namanya berkibar karena karya-karyanya, khususnya puisi, yang berfokus pada isu-isu sosial dan politik di Indonesia. pria bernama asli Wiji Widodo ini berani menyuarakan ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh masyarakat kelas bawah pada masa Orde Baru.

Tumbuh besar di lingkungan keluarga sederhana, sejak muda ia sudah menunjukkan minat yang besar dalam sastra dan seni. Ia mulai menulis puisi saat remaja, kemudian  aktif dalam berbagai kegiatan seni dan demonstrasi selama periode 80 hingga 90-an. Inilah alasan banyak yang memasukkan Wiji Thukul dalam generasi sastrawan tahun 1980 hingga 1990-an.

Namun, puisi-puisi Wiji Thukul memiliki semangat perlawanan yang jarang timbul pada generasi 1980 hingga 1990-an itu. Bahasanya yang lugas, langsung, dan berapi-api mencerminkan keresahan dan perjuangan rakyat kecil melawan penindasan oleh rezim Orde Baru. Sebagai aktivis yang vokal dan berani, Wiji Thukul pun kerap berhadapan dengan tekanan dan ancaman dari aparat keamanan.

Bahkan, pada tahun 1996, ia menjalani hidup dalam pelarian setelah menjadi buronan pemerintah karena aktivitas politiknya. Namun, Wiji Thukul terus berjuang untuk keadilan dan demokrasi hingga akhirnya ia menghilang secara misterius pada tahun 1998, tepat sebelum peristiwa reformasi terjadi. Sampai kini, kita pun belum mengetahui keberadaannya.  

Wiji Thukul dan Angkatan Reformasi Sastra Indonesia

Meskipun Wiji Thukul menghilang pada awal tahun 1998, sebelum reformasi mencapai puncaknya, karyanya memiliki dampak yang signifikan dalam periode reformasi dan setelahnya. Puisi-puisinya menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan inspirasi bagi banyak aktivis dan sastrawan muda yang muncul setelah reformasi.

Saya membahas beliau dalam tulisan ini karena sosoknya yang merupakan salah satu figur penting bagi semangat perlawanan dan kebebasan berekspresi yang menjadi ciri khas sastra angkatan reformasi. Sikap kritis terhadap rezim Orde Baru dalam karyanya sangat relevan dengan kecenderungan tema karya sastra pada masa angkatan reformasi.

Maka, tidak berlebihan jika banyak yang menyebutnya sebagai salah satu pahlawan rakyat. Sebab, ia berani melawan ketidakadilan dan menyuarakan aspirasi mereka yang terpinggirkan, bahkan ketika banyak yang memilih untuk tetap bungkam. Singkatnya, Wiji Thukul adalah contoh nyata bagaimana sastra dapat menjadi alat perlawanan yang efektif dan kuat dalam menghadapi ketidakadilan.

Karya-Karya Wiji Thukul

Sedikitnya, tiga sajak Wiji Thukul yang menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu “Peringatan”, “Sajak Suara”, serta “Bunga dan Tembok”. Di samping itu, kita mendapati salah satu puisinya yang berjudul “Sajak Ibu” telah mengalami penggubahan menjadi musik oleh seorang komponis bernama Ananda Sukarlan.

Beberapa puisi lain karya Wiji Thukul:

  • Puisi Pelo
  • Darman dan Lain-lain
  • Mencari Tanah Lapang
  • Aku Ingin Jadi Peluru

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *