Angkatan Balai Pustaka telah membawa geliat baru dalam gerakan kesastraan di Indonesia. Mereka mencapai masa jayanya hingga awal tahun 1930-an. Namun, pada kenyataannya, angkatan balai pustaka seolah tak mampu berevolusi menjadi sebuah gerakan yang benar-benar membebaskan hakikat bidang sastra di Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab lahirnya angkatan sastra pujangga baru Indonesia.
Kelahiran Angkatan Sastra Pujangga Baru
Angkatan Balai Pustaka, melalui para sastrawannya, telah mendapat pengakuan karena perannya dalam membangkitkan gerakan kebangsaan melalui karya sastra. Namun, lama-kelamaan, berbagai reaksi mulai bermunculan sehubungan dengan keberadaan angkatan tersebut. Tidak sedikit sastrawan yang kemudian menyayangkan sensor-sensor dari Balai Pustaka. Khususnya, sensor terhadap karya sastra yang mengandung muatan nasionalisme dan kebangsaan.
Daftar Isi
Akibatnya, banyak yang menganggap bahwa Balai Pustaka seakan tak mampu keluar dari esensi awalnya sebagai lembaga sensor buatan pemerintah kolonial. Seorang sastrawan bernama Sutan Takdir Alisyahbana pun memelopori penerbitan sebuah majalah bernama Poedjangga Baroe. Kemudian, majalah ini pun memulai gerakannya dengan menjadi wadah bagi para penulis yang karya-karyanya mendapat sensor dari Balai Pustaka.
Para penulis tersebut, termasuk Sutan Takdir Alisyahbana sendiri, mengisi berbagai kolom dalam majalah Pujangga Baru dengan puisi, cerpen, roman, drama, esai, kritik, hingga kajian kebudayaan. Tentunya, karya-karya yang terbit pada era Pujangga Baru ini pun memiliki perbedaan dengan masa sebelumnya. Di sini, kita akan menemukan berbagai karya dengan muatan nasionalis dan intelektual.
Ciri-Ciri Karya Angkatan Sastra Pujangga Baru
Cenderung Menggunakan Bahasa Indonesia
Meskipun masih ada karya sastra yang menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia (pada masa itu) mulai menjadi bahan utama. Sebab, dengan menggunakan bahasa Indonesia, pengarang dapat menyampaikan ceritanya dalam jangkauan yang lebih luas. Masyarakat yang memahami karya berbahasa Indonesia ini pun tak lagi terbatas pada kalangan atau wilayah tertentu, tetapi dapat mencapai berbagai kalangan dan banyak daerah. Tentunya, hal ini merupakan pembeda dengan angkatan sebelumnya yang meski telah menggunakan bahasa Indonesia, masih banyak menunjukkan pengaruh bahasa Melayu.
Cerita Kehidupan Masyarakat Kota
Jika angkatan Balai Pustaka banyak mengeksplorasi unsur tradisi dan budaya dalam masyarakat, angkatan Pujangga Baru kebanyakan memusatkan perhatiannya pada kehidupan masyarakat yang berada dalam perkotaan. Karena, hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan pendalaman lebih terhadap karakterisasi tokoh-tokoh dalam karyanya. Tentunya, masalah percintaan pun tetap mendapat porsi sendiri. Namun, pengangkatan masalah hidup dan intrik dalam kehidupan perkotaan ternyata dapat mengarah kepada hal-hal yang lebih kompleks dan menjadikan pengembangan ceritanya lebih menarik.
Pengaruh Budaya dan Sastra Barat
Sebenarnya, kita dapat menyatakan hal ini sebagai dampak lanjutan dari keberadaan lembaga Balai Pustaka. Banyak di antara anggota masyarakat telah mengalami perkembangan intelektual dan pemikiran berkat bacaan-bacaan dari lembaga tersebut. Selain itu, tak sedikit pula penulis yang belajar hingga ke luar negeri. Dua hal tersebut pun menjadi pengaruh bagi sastrawan pada angkatan pujangga baru.
Pasalnya, para sastrawan tersebut merealisasikan pengaruh-pengaruh dari barat dalam penulisan karya-karya mereka. Dengan demikian, karya sastra Indonesia pun mengambil bentuk yang lebih bebas lagi, mudah dalam pengembangannya serta penerimannya, dan menunjukkan dinamika yang lebih hidup.
Di samping ciri-ciri tersebut, kita dapat menemukan kecenderungan lain dalam karya sastra pada masa angkatan Pujangga Baru ini. Di antaranya:
- Pengambilan bentuk soneta dalam puisi
- Penggunaan sudut pandang orang ketiga
- Pemakaian istilah-istilah yang lebih baru
- Perwatakan pada tokoh lebih dramatis
Sastrawan Angkatan Sastra Pujangga Baru dan Karyanya.
Sutan Takdir Alisjahbana
Untuk selanjutnya, kita akan menyebut sosok yang menjadi pelopor angkatan sastra Pujangga Baru ini dengan singkatan STA. Tokoh kelahiran 11 Februari 1908 merupakan seorang budayawan dan sastrawan. Selain itu, banyak pula yang mengenalnya sebagai salah satu pendiri Universitas Nasional Jakarta ini sebagai ahli tata bahasa Indonesia.
STA adalah sosoo dengan banyak pengalamannya. Sebab, beliau pernah menjalani berbagai profesi, mulai dari bidang bahasa, sastra, hingga kesenian lainnya. Kemudian, sebelum mendirikan majalah Poedjangga Baroe pada tahun 1933, STA pernah menjadi redaktur dalam majalah Panji Pustaka dan Balai Pustaka. Hebatnya, beliau juga pernah menjadi guru di berbagai lembaga pendidikan untuk bidang tata bahasa Indonesia, sejarah, kebudayaan, hingga filsafat. Karena kiprahnya ini, STA mendapatkan gelar guru besar dari beberapa universitas tempat beliau mengajar.
Berikut ini adalah beberapa karya dari Sutan Takdir Alisyahbana (STA):
- Layar Terkembang (novel, 1936)
- Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
- Dian yang Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
- Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
- Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
Amir Hamzah
Penyair bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera ini adalah seorang pahlawan nasional sekaligus “Raja Penyair Pujangga Baru”. Alasannya, Amir Hamzah telah mendapat pengakuan sebagai satu-satunya penyair Indonesia dengan level internasional karena puisi-puisinya. Puisi-puisi karangan beliau tak hanya mengangkat tema cinta dan agama, tetapi juga kerap menggambarkan permasalahan dalam dimensi batin seorang manusia.
Di samping itu, Amir Hamzah juga menggunakan diksi dari kata-kata dalam bahasa Melayu dan Jawa untuk memuat simbol dan mengakomodasikan istilah-istilah tertentu dalam komposisi puisinya. Pada masa awal kariernya sebagai sastrawan, banyak karyanya mengusung tema cinta dan kerinduan. Namun, di kemudian hari, Amir Hamzah lebih banyak mengangkat tema yang memiliki makna dan nuansa religius. Berikut ini adalah beberapa karya Amir Hamzah.
- Nyanyi Sunyi (kumpulan puisi, 1937)
- Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941)
- Bhagawad Gita (terjemahan kumpulan puisi, 1933)
- Setanggi Timur (terjemahan kumpulan puisi, 1939)
HAMKA
Saat ini, kita lebih banyak mengenal pemilik nama lengkap Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini dengan sebutan Buya Hamka. Selain berkarier sebagai wartawan, pengajar, dan penulis, Buya Hamka juga sorang sastrawan, filsuf, sekaligus ulama terkemuka d Indonesia. Di samping itu, beliau juga aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar serta Universitas Nasional Malaysia.
Sebelum partai Masyumi mengalami pembuaran, Buya Hamka sempat memasuki dunia politik bersama partai tersebut. Bahkan, beliau merupakan pemangku jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama dan menyandang status sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Kalau pembaca sekalian pernah menonton film Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013), film-film tersebut merupakan hasil adaptasi dari novel karya Buya Hamka.
Karya-Karya HAMKA:
- Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939)
- Tuan Direktur (1950)
- Di dalam Lembah Kehidoepan (1940)
Selain nama-nama di atas, sastrawan angkatan sastra Pujangga Baru Indonesia juga memiliki nama-nama besar seperti Armijn Pane, Sanusi Pane, Roestam Efendi dan sebagainya. Tentunya, membutuhkan ruang yang lebih panjang bagu saya untuk mengulas masing-masing dari mereka. Namun, melalui tulisan ini, setidaknya kita dapat mengenal sedikit seluk beluk angkatan Pujangga Baru dalam khazanah periodisasi sastra Indonesia.