Pada tahun 1942, Jepang memasuki Indonesia. Di masa yang sama, kedudukan angkatan Pujangga Baru dalam dunia sastra Di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, polemik-polemik mulai terjadi berkaitan dengan eksistensi dan paham para sastrawan pada masa itu. Dalam tulisan angkatan sastra merdeka 1945 ini, kita akan membahas polemik-polemik tersebut meskipun hanya sekilas. Sebab, hal itu akan mengantarkan kita pada kelahiran sebuah angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia.
Kelahiran Angkatan 1945 – Angkatan Merdeka
Kenyataannya, majalah Pujangga Baru tidak mengalami perjalanan yang mudah. Mereka sering mengalami kerugian saat melakukan pencetakan. Misalnya, dari 500 majalah yang tercetak, hanya sekitar 150 eksemplar saja yang terbayar. Tentunya, sosok yang menanggung kerugian ini sepenuhnya adalah STA (Sutan Takdir Alisjahbana) dan Amir Hamzah. Meski demikian, keduanya menyadari bahwa Pujangga Baru bukan sekadar wadah bagi mereka untuk mencari keuntungan materi, melainkan wujud dari visi dan idealisme mereka dalam bidang sastra dan kebudayaan.
Daftar Isi
Di sisi lain, STA sebagai tokoh utama dalam angkatan ini menghadapi banyak polemik terkait dengan pemikirannya. Singkatnya, banyak orang menganggap bahwa pandangan STA mengenai sastra dan budaya telah terlalu banyak mendapat pengaruh dari Barat. Akibatnya, beliau mendapatkan berbagai kritik karena dianggap tidak memberi ruang pada akar kebudayaan Indonesia sendiri. Umumnya, mereka yang melibatkan diri dalam konflik ini adalah mereka yang merasa harus mempertahankan sisi ke-Timuran dan tradisi yang telah ada.
Puncaknya, kehadiran pemerintah kolonial Jepang pada masa itu melarang penerbitan majalah ini. Mereka menganggap Pujanga Baru hanya mengusung karya-karya sastra yang memiliki corak kebarat-baratan. Di samping itu, pemerintah Jepang sendiri memulai gerakan mereka dengan merangkul para sastrawan untuk membuat karya-karya yang bermuatan propaganda terhadap pemerintahan. Akibatnya, para sastrawan yang menolak gerakan tersebut mulai menunjukkan eksistensinya sekaligus menjadi pelopor bagi angkatan 1945.
Gaya dan Sifat Karya Angkatan Sastra Merdeka 1945
Para sastrawan pada angkatan sastra merdeka 1945 ini mendapat sebutan sebagai sastrawan yang tidak berteriak tetapi melaksanakan. Pasalnya, karya-karya yang mereka ciptakan memiliki warna yang lebih realistis bila kita membandingkannya dengan angkatan Pujangga Baru. Tema-tema seperti pengalaman hidup, pergolakan dalam sisi sosial, politik, dan kebudayaan di negeri sendiri bermunculan ke permukaan.
Kita dapat mengatakan karena kemunculan angkatan ini beriringan dengan gejolak perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, karya-kasya sastra yang tercipta pun menjadi lebih ekspresif. Di samping sifatnya yang revousioner, karya-karya tersebut juga kerap mengusung semangat nasionalisme dan kebangsaan. Misalnya, selain mengangkat gambaran kehidupan yang masyarakat yang lebih membumi, banyak yang lebih menggambarkan karakter-karakter ceritanya dalam sisi yang lebih emosional melalui dialog.
Karena geliat yang sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya, Rosihan Anwar lalu menyematkan nama angkatan 45 pada para satrawan di masa ini. Para sastrawan di era ini telah berhasil membentuk identitas ke-Indonesiaan dalam karya-karya mereka. Nama-nama seperti Chairil Anwar, Achdiat K. Mihardja, hingga Pramudya Ananta Toer adalah nama sastrawan yang meraih pencapaian gemilang dari angkatan yang juga mendapat sebutan Angkatan Merdeka ini.
Singkatnya, kita dapat menggambarkan angkatan 45 ini sebagai angkatan yang bebas dan individualis. Walaupun banyak mengusung tema perjuangan dan nasionalisme, perasaan dan pemikiran pengarang menjadi aspek yang juga menonjol dalam setiap karya yang ada. Selain itu, kita tidak hanya akan menemukan berbagai bentuk realisme dalam kehidupan, tetapi juga pandangan-pandangan baru tentang masyarakat dan masa depan kehidupan.
Sastrawan Angkatan 1945 dan Karyanya
Chairil Anwar
Penyair fenomenal yang mendapat julukan “Si Binatang Jalang” ini mendapat perhatian sebagai pelopor angkatan sastra merdeka 1945 dari berbagai kritikus sastra maupun para budayawan. Pasalnya, Chairil menunjukkan sebuah format baru dalam dunia perpuisian dengan ekonomisasi kata sebagai kredonya. Puisi-puisinya pun mengusung berbagai tema dan pemikiran, seperti cinta, kematian, hingga eksistensialisme.
Kepiawaian Chairil dalam menggubah sajak bahkan mendapat pengakuan hingga masa kini meski dirinya sendiri telah tiada. Jika membicarakan cinta, ia bisa menjadi sangat romantis, tetapi ketika mengungkapkan pemberontakan dalam benak dan pemikirannya, Chairil adalah sosok yang sangat lugas. Gaya dan kandungan dalam puisi serta karya-karyanya menunjukkan keluasan wawasan dan kedalaman pemahamannya dalam bidang sastra.
Tidak mengherankan jika banyak penulis atau penyair muda menjadikannya sebagai anutan dan para ahli sastra menghujaninya dengan berbagai apresiasi. Bahkan, selain angkatan merdeka, tak sedikit yang menyebut angkatan 1945 ini sebagai Angkatan Chairil Anwar. Hal ini membuktikan besarnya pengaruh seorang Chairil Anwar dalam dunia sastra Indonesia. Berikut ini adalah karya-karya Chairil dalam kesusastraan Indonesia. Banyak di antara karya tersebut yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
- Deru Campur Debu (1949)
- Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
- Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
- Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
- Derai-derai Cemara (1998)
- Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
- Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck
Pramoedya Ananta Toer
Jika Chairil adalah ujung tombak penyair Indonesia pada masa itu, Pramoedya Ananta Toer adalah garda depan bagi cerpenis dan novelis. Pasalnya, pemilik nama lengkap Pramoedya Ananta Mastoer ini pun mendapat mengakuan tak hanya dalam dunia sastra dalam negeri, tetapi juga dunia. Sebagaimana Chairil, karya-karya Pram juga telah mendapat penerjemahan dalam berbagai bahasa.
Pernah menjadi tahanan politik dari tahun 1965 hingga 1979, Pram tak sedikit kehilangan ketajaman goresan penanya. Bahkan, beliau menghasilkan empat novel karangannya yang tergabung dalam Tetralogi Karya Buru pada kesempatan yang didapatkan dalam masa penahanannya. Kemampuannya dalam mendeskripsikan situasi dan karakter membuat setiap peristiwa, tokoh, maupun suasana dalam karya-karyanya begitu hidup.
Pramoedya Ananta Toer kerap memasukkan pandangan realisme ke dalam karya-karyanya. Di dalamnya, kita dapat menemukan berbagai gambaran detail tentang pergolakan situasi di negeri ini pada masa itu. Tentunya, sumber dari cerita-cerita tersebut sebagian besar adalah pengalaman hidupnya. Pram mengemas baik karakter maupun konflik yang terjadi dalam ceritanya dalam bentuk semi-fiksi-sejarah. Dengan demikian, setiap pembaca dapat menikmati karya-karyanya sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan masing-masing.
Berikut adalah beberapa karya Pramoedya Ananta Toer:
- Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
- Bukan Pasar Malam (1951)
- Di Tepi Kali Bekasi (1951)
- Keluarga Gerilya (1951)
- Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
- Perburuan (1950)
- Cerita dari Blora (1952)
- Gadis Pantai (1962-65)
- Tetralogi Buru:
- Bumi Manusia (1980; 1981);
- Anak Semua Bangsa (1981; 1981);
- Jejak Langkah (1985; 1985);
- Rumah Kaca (1988; 1988)
Selain dua nama besar tersebut, angkatan sastra merdeka 1945 pun memiliki sejumlah nama lainnya, seperti Idrus dengan kumpulan cerpennya yang terkenal berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1945), Asrul Sani dan Rivai Apin dengan kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar, serta Achdiat K. Mihardja dengan novel berjudul Atheis (1949) yang fenomenal.