Pembaca sekalian pasti pernah mendengan istilah pantun, syair, dan sebagainya. Benar, keduanya termasuk dalam kategori karya sastra lama atau klasik di Indonesia. Membicarakan karya sastra lama, khususnya di Indonesia, kita tak bisa melepaskan keterkaitannya dengan perjalanan dunia sastra di Indonesia. Khususnya, masa ketika pantun dan syair merupakan bentuk karya sastra yang populer, yaitu angkatan sastra pujangga lama.
Nama Angkatan Sastra Pujangga Lama adalah sebutan bagi kegiatan kesastraan yang berkembang sebelum tahun abad ke-20 di Indonesia. Bentuk-bentuk karya sastra seperti syair, pantun, gurindam dan hikayat sangat mendominasi pada masa tersebut. Namun, dalam penuturan atau penulisannya karya-karya itu umumnya menggunakan bahasa Melayu, Arab, Sansekerta, dan lainnya. Sebab, bahasa Indonesia sendiri pada saat itu belum terlahir.
Daftar Isi
Menelusuri karya sastra pada masa angkatan pujangga lama bukan hal mudah karena dua hal. Alasannya, berkas atau arsip otentik dari karya-karya pada saat itu sangatlah minim. Hal ini juga berkaitan dengan cara penyebaran karya sastra yang ketika itu masih dalam bentuk lisan atau tuturan. Meski demikian, melalui sumber-sumber tertetu, kita masih bisa melacak jejak-jejak bekenaan dengan eksistensi karya-karya pada masa itu.
Ketika itu, pengaruh Islam dan budaya Melayu Klasik telah menjamah mayoritas wilayah kerajaan di pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya. Maka, tak mengherankan jika karya-karya berbahasa Melayu telah bermunculan di wilayah tersebut. Tidak sedikit pula di antara karya-karya yang muncul itu bertemakan keagamaan.
Ciri-Ciri Angkatan Sastra Pujangga Lama Indonesia
Umumnya, karya sastra pada masa Pujangga Lama menggunakan bahasa daerah atau bahasa lokal masing-masing. Namun, dalam kondisi dan situasi tertentu, karya sastra dari satu wilayah akan mengalami proses alih bahasa atau penerjemahan ke bahasa lain sesuai kesepakatan. Biasanya, hal ini berkaitan dengan hubungan antara kedua wilayah tersebut.
Dalam kalangan masyarakat Melayu, karya sastra Pujangga Lama mengalami penyesuaian dengan kebudayaan sekitarnya. Isi dari karya-karya tersebut umumnya menceritakan, kekuasaan dewata kehidupan para raja, atau percintaan antara pangeran dan putri. Tentunya, pemakaian bahasa dalam mengutarakan kisah-kisah tersebut pun memiliki kesan yang sangat teratur, bahkan cenderung kaku.
Di samping itu, kita dapat mengklasifikasikan bentuk karya sastra pada masa ini menjadi beberapa bagian, yaitu folklor, hikayat, dan cerita pelipur lara. Berikut adalah penjelasan mengenai ketiganya.
Folklor
Folklor berarti cerita rakyat dan termasuk dalam golongan sastra lisan. Artinya, bentuk karya ini mengalami penyebaran dan perkembangan melalui penuturan. Para orang tua akan menuturkan cerita kepada keturunannya yang kemudian melanjutkan kepada generasi berikutnya. Selain memiliki struktur naratif yang khas karena bersifat kedaerahan, folklor biasanya juga mengandung fungsi sosial.
Hikayat
Hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti cerita atau menceritakan. Namun, sebagaimana informasi sebelumnya, pengaruh Islam dan kultur Melayu membuat kita lebih sering mendapati hikayat sebagai karya yang menggunakan bahasa Melayu Klasik. Tema-tema kepahlawanan para raja sangat mendominasi karya sastra dalam jenis ini. Misalnya, Hikayar Raja-Raja Aceh dan Sejarah Melayu.
Cerita Pelipur Lara
Sesuai namanya, Cerita pelipur lara memang memiliki peran utama sebagai sarana hiburan. Tentunya, di balik kisahnya yang menghibur itu, kita akan menemukan pesan-pesan tentang kehidupan yang sangat kuat. Hikayat Si Miskin yang hingga saat ini masih kerap muncul dalam buku-buku pelajaran di sekolah merupakan contoh terbaik untuk genre ini.
Berdasarkan penjelasan dalam masing-masing kelompok karya sastra di atas, kita dapat menari satu garis lurus yang menunjukkan kesamaannya. Meskipun memiliki tema yang beragam, karya-karya tersebut cenderung memiliki tujuan yang sama, yaitu menanamkan dan memupuk moral pada diri seseorang dengan pembelajaran berbasis tradisi maupun kearifan lokal pada masa itu.
Pengarang Angkatan Sastra Pujangga Lama dan Karya-Karyanya
Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji adalah ujung tombak dari angkatan sastra pujangga baru ini. Maka, tidak berlebihan kiranya jika saya menyebut keduanya sebagai Raja Syair Pujangga Baru. Di samping itu, kita juga harus berkenalan dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, seorang pemikir yang visioner sekaligus penggubah hikayat yang terkenal berjudul Hikayat Abdullah.
Hamzah Fansuri dan Karya-Karyanya
Para ahli sastra menyebut sastrawan yang juga pemuka agama ini sebagai sang Pelopor Puisi Indonesia. Namun, sebagian lagi menyebutnya sebagai Bapak Sastra Melayu. Tinggal di Aceh, orang-orang mengenal Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair sekaligus penganut sebuah aliran yang memiliki unsur sufi. Berikut adalah daftar karya-karyanya yang berbentuk syair dan prosa:
Syair:
- Syair Si Burung Pungguk
- Syair Dagang
- Syair Burung Unggas
- Syair Perahu
- Syair Sidang Fakir
- Syair Si Burung pipit
Prosa:
- Minuman Para Perindu
- Rahasia Kaum Arif
- Kitab Penghabisan, Kitab Para Pakar
Raja Ali Haji dan Karya-Karyanya
Raja Ali Haji merupakan nama pena dari Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad. Beliau adalah seorang sastrawan, ulama, serta pujangga yang memiliki darah campuran Melayu dan Bugis. Sebab, di samping masih keturunan dari seseorang dalam Kesultanan Lingga-Riau, beliau juga merupakan keturunan bangsawan Bugis.
Selain itu, orang-orang juga mengenal Raja Ali Haji sebagai penulis buku Pedoman Bahasa. Buku yang berisi dasar-dasar serta tata bahasa Melayu yang kemudian menjadi standar bahasa Melayu. Selain Gurindam Dua Belas yang terkenal hingga masa kini, karya-karya lain dari Raja Ali Haji adalah:
- Syair Hukum Nikah
- Sjair Abdoel Moeloek
- Syair Bidasari
- Syair Siti Shianah
- Syair Raja Mambang Jauhari
- Syair Suluh Pegawai
- Syair Raja Siak
- Syair Ken Tambuhan
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi adalah seorang keturunan Arab yang tumbuh di Melaka, Melayu. Maka, tak mengherankan jika beliau memiliki keakraban dengan bahasa Melayu sehingga kita dapat menyebutnya sebagai sastrawan Melayu. Selain mengajarkan bahasa Melayu, Abdullan bin Abdul kadi Munsyi pernah menjadi juru tulis dan penerjemah untuk sebuah lembaga asing di Malaka. Karya-karya yang beliau hasilkan antara lain:
- Syair Kampung Gelam Terbakar
- Hikayat Abdullah
- Sejarah Melayu
- Hikayat Panca Tanderan
Ki Padmasusastra dan Karya-Karyanya
Dalam perkembangannya, angkatan sastra Pujangga Lama juga merambah wilayah Jawa. Di sini, kita akan mengenal nama-nama, seperti Ranggawarsita dan para pujangga dari keraton Surakarta. Selain itu, juga ada nama Ki Padmasusastra yang memiliki peran penting dalam menjembatani sastra klasik dengan kandungan kisah-kisah khas dari tanah Jawa dan sastra modern.
Lahir di Sraten, Surakarta, kita akan mengenal Ki Padmasusastra sebagai seseorang bernama Suwardi. Beliau merupakan putra seorang abdi dalem kiaton Kasunanan Surakarta yang pada saat itu menjabat sebagai Mantri Gedhong Kiwa. Ki Padmasusastra mulai menulis karyanya pada tahun 1865, saat usia beliau memasuiki 24 tahun. Di kemudian hari, Berkat jasanya dalam bidang kesusastraan, Ki Padmasusastra mendapat julukan sebagai penyelamat Sastra Jawa. Karya-karyanya antara lain:
- Serat Tatacara (yang berjumlah tiga jilid) (1911)
- Rangsang Tuban (1912)
- Serat Pathibasa (1916)
- Layang Madubasa (1918)
- Serat Prabangkara (1921)
- Serat Durcaarja (1921)
- Serat Kandhabumi (1924)
Demikianlah pembicaraan singkat mengenai angkatan sastra Pujangga lama. Tentunya, saya tak bisa menyebutkan seluruh sastrawan dalam periode ini karena keterbatasan sumber. Meski demikian, saya berharap informasi yang sangat terbatas ini dapat memperkaya wawasan kita tentang kekayaan khazanah sastra Indonesia.