angkatan 1950 hingga 1960-an

Angkatan 1950 hingga 1960-an – Periodisasi Sastra Indonesia

Angkatan 45, angkatan Merdeka, atau angkatan Chairil Anwar merupakan angkatan sastra yang paling berhasil dalam menjelmakan bentuk atau identitas dari kesusastraan Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai polemik yang sebenarnya telah muncul sejak era Pujangga Baru kini mencuat dan mengambil bentuk yang sedikit berbeda. Polemik-polemik yang sebenarnya berlatar budaya kini menjelma dalam wujud perang ideologi antarlembaga atau institusi. Maka, sebagaimana zaman yang terus bergerak, kita akan melihat bagaimana hubungan antara polemik-polemik itu dengan kemunculan angkatan baru dalam periodisasi sastra Indonesia, yaitu angkatan 1950 hingga 1960-an.

Kelahiran Angkatan Sastra 1950 hingga 1960-an

Berbagai lembaga dengan latar belakang masing-masing bermunculan dan mengusung ideologi mereka sendiri-sendiri. Misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) dengan nasionalismenya dan lembaga lain yang memiliki corak keagamaan tertentu. Di samping itu, berbagai media massa, seperti majalah dan surat kabar pun ikut menyemarakkan kancah sastra-budaya dan intelektual walaupun umumnya berfungsi sebagai kepanjangan tangan sebuah partai atau ideologi politik tertentu.

Kemudian, di tengah keriuhan lembaga maupun partai tersebut, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) merupakan sebuah lembaga yang paling menonjol. Pasalnya, pergerakan Lekra dengan semboyan “seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima’ membuatnya menerima sorotan dari banyak pihak. Umumnya, sorotan atau perhatian-perhatian itu akan menyinggung keterkaitan Lekra dengan partai yang menaunginya, yaitu PKI. Sederhananya, banyak yang menganggap bahwa Lekra tidak lebih dari alat PKI dalam menyebarkan paham komunisnya.

Akan tetapi, lepas dari segala tudingan tersebut, tulisan ini hanya akan menyoroti bagaimana Lekra dapat menjadi wadah bagi para sastrawan yang kemudian tergolong dalam angkatan 1950 hingga 1960-an. Sebab, pada angkatan ini, selain akan menemukan kembali nama Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer, kita pun akan menjumpai sejumlah nama besar seperti A.A. Navis, Mochtar Lubis, Nh. Dini, hingga W.S. Rendra.  

Mungkin, sebelum melanjutkan pada ciri-ciri karya sastra yang muncul pada masa ini, kita perlu menyepakati bagaimana sikap para sastrawan tersebut dalam karya-karya mereka. Para sastrawan angkatan ini merasa terdorong untuk menggambarkan realitas sosial dan politik. Khususnya, bagaimana masyarakat menghadapi kedua realitas tersebut. Mereka menggunakan karya sastra sebagai media penyuaraan keprihatinan mereka terhadap keadaan negara dan masyarakat. Selain itu, angkatan ini juga memiliki ciri khas dalam semangat perubahan dan pembaruan dalam bentuk dan gaya penulisan.

Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan 1950 hingga 1960-an

Puisi dan prosa merupakan bentuk yang paling mendominasi karya-karya sastra pada periode ini. Umumnya, karya yang dipublikasikan akan mengambil kemasan berupa kumpulan puisi atau kumpulan cerpen. Kemudahan dalam penyebaran dan penerimaan karya-karya tersebut mendorong lahirnya pusat kegiatan sastra dan budaya di seluruh penjuru Indonesia. Tentunya, karya-karya sastra tersebut juga menyajikan kedalaman yang lebih dalam pengungkapan budaya lokal atau daerah, maupun pergolakan dengan latar belakang nasionalisme.

Berdasarkan pemaparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam periode ini, keindahan dan kualitas dari karya sastra di Indonesia telah memiliki tolok ukurnya sendiri. Di samping itu, jika melihat dari segi isi atau kandungannya, karya sastra pada era 1950 hingga 60-an semakin banyak mengangkat tema-tema sosial dan politik. Misalnya, kita akan banyak menemukan penggambaran tentang perjuangan masyarakat dalam meraih kemerdekaan, menciptakan tatanan baru, serta menghadapi pertentangan politik pada masa itu.

Selain itu, tidak sedikit pula karya sastra yang menyuarakan pesan tentang kemanusiaan, solidaritas, dan keadilan. Dengan membacanya, kita dapat merenungkan keadaan manusia secara menyeluruh. Kemudian, penggambaran kehidupan sehari-hari masyarakat pun selalu memiliki tempat tersendiri. Dengan pendekatan yang realistis ini, para sastrawan dapat menghasilkan karya-karya yang orisinal dan menggugah rasa.

Perubahan dan pembaruan dalam gaya penulisan juga mewarnai periode ini. Singkatnya, penggunaan bahasa yang lebih bebas dan pengungkapan narasi yang lebih mencerminkan kekhasan masing-masing pengarang menjadikan karya-karya tersebut sebagai produk yang lebih segar dan unik. Meskipun masih memiliki unsur keterpengaruhan dari sastra dunia Barat, para pengarang dapat menggabungkannya dengan aspek-aspek kearifan lokal. Maka, kita dapat menyatakan bahwa para sastrawan pada masa ini telah merealisasikan ruangan baru yang lebih luas dalam khazanah sastra Indonesia

Sastrawan Angkatan 1950 hingga 60-an dan Karya-Karyanya

Sesuai penjelasan sebelumnya, kita masih dapat menemukan nama Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer dalam angkatan ini. Namun, pembaca sekalian dapat menyimak tulisan mengenai angkatan 1945 untuk mengetahui sekilas tentang dua maestro dalam sastra Indonesia tersebut. Kini, kita akan membicarakan beberapa pengarang yang tak kalah kondang dari keduanya.

A.A. Navis

Sosok bernama lengkap Haji Ali Akbar Navis merupakan seorang sastrawan, kritikus, sekaligus  politikus Indonesia. Bagi pria asal Sumatera Barat ini, menulis bukan sekadar mengungkapkan ide atau gagasan, melainkan sebuah kebutuhan hidup. Memang, beliau menganggap keindahan bahasa merupakan hal yang penting dalam sebuah tulisan, tetapi keberlangsungan atau keabadian tulisan itu lebih penting lagi. Singkatnya, A.A. Navis lebih mengutamakan visi dalam penulisan daripada popularitas.

Di samping itu, A.A Navis juga seorang pemerhati dunia pendidikan di Indonesia. Beliau sempat mengutarakan keprihatinannya pada minimnya kesempatan untuk berpikir kritis dalam proses pembelajaran di negeri ini. Khususnya, proses berpikir kritis melalui sebuah tulisan. Beliau berpendapat bahwa dengan menulis, seorang manusia akan dapat membuat pemikirannya lebih terbuka sehingga mampu memberikan pemahaman tentang hidup dan kehidupan.

Berikut ini adalah beberapa karya A.A, Navis:

  • Kemarau (Novel, 1967)
  • Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi (Novel, 1970)
  • Robohnya Surau Kami (Cerpen, 1955)
  • Hudjan Panas (Cerpen, 1963)
  • Bianglala (Cerpen, 1963)
  • Dermaga dengan Empat Sekoci (Puisi, 1975)
  • Dermaga Lima Sekoci (Puisi, 2000)

Mochtar Lubis

Selain sebagai novelis, Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan salah satu pendiri majalah sastra Horison. Beliau sempat mendapatkan hukuman penjara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto karena pemikiran kritisnya. Memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Sungai Penuh, Kerinci pada 1936, Mochtar Lubis melanjutkan pembelajarannya di Sekolah Ekonomi Partikelir. Sejak saat itulah beliau memiliki semangat kemerdekaan dan mulai mempelajari bidang-bidang lain, seperti politik, bahasa asing, dan ilmu sosial.

Seorang sejarawan bernama A.H. John pernah menerjemahkan novel karya Mochtar Lubis yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung (1952) menjadi Road With No End (1968). Novel tersebut mendapatkan hadiah sastra BKMN pada tahun yang sama. Namun, novel tersebut bukanlah satu-satunya. Mochtar Lubis banyak menghasilkan karya sastra, baik cerpen maupun novel yang menyabet penghargaan. Salah satunya adalah novel Harimau! Harimau! yang hingga kini masih sering menjadi contoh, bahan ajar, hingga soal dalam mata pelajaran Sasra Indonesia di sekolah-sekolah.

Karya-Karya Mochtar Lubis antara lain:

  • Tak Ada Esok (1950)
  • Jalan Tak Ada Ujung (1952)
  • Tanah Gersang (1964)
  • Si Djamal (1964)
  • Harimau! Harimau! (Novel, 1975)

Iwan Simatupang

Nama lengkap Iwan Simatupang adalah Iwan Martua Dongan Simatupang. Selain novelis, beliau merupakan penyair, dramawan, dan esais Indonesia. Tanpa menyelesaikan pendidikannya di sekolah kedokteran (NIAS) Surabaya, Iwan Simatupang malah mengambil studi tentang antropologi, drama, serta filsafat di Belanda dan Prancis. Sejumlah karya Iwan Simatupang, seperti puisi, cerpen, roman, drama, hingga esai pernah mengisi kolom daalm majalah Siasat dan Mimbar Indonesia sejak tahun 1952.

Karya-Karya Iwan Simatupang antara lain:

  • Bulan Bujur Sangkar – drama (1960)
  • Merahnja Merah – roman (1961, diterbit 1968)
  • Kaktus dan Kemerdekaan – drama (1969)[8]
  • Tegak lurus dengan langit: lima belas cerita pendek (1982, penyunting: Dami N. Toda)
  • Sejumlah Masalah Sastra – kumpulan esai (1982, penyunting: Satyagraha Hoerip)
  • Ziarah – novel (1983)

W.S. Rendra

Selain memiliki Chairil Anwar si Binatang Jalang, angkatan 1950 hingga 1960-an ini menjadi lebih istimewa bagi saya karena kehadiran sosok yang satu ini. Benar, kita mengenalnya sebagai si Burung Merak. W.S. Rendra, atau Willibrordus Surendra Broto Rendra, adalah salah satu penyair, dramawan, dan budayawan terbesar Indonesia yang lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah, dan meninggal pada 6 Agustus 2009.

Beliau mendapat julukan “Si Burung Merak” karena penampilannya yang flamboyan dan penuh warna, serta karya-karyanya yang revolusioner. Rendra menempuh pedidikan awalnya di Solo sebelum melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meskipun tidak sampai selesai. Belia mulai menulis puisi sejak muda. Orang-orang mengenal karya-karyanya yang kaya bahasa dalam menggambarkan kondisi politik di negeri ini.

Dengan gaya penulisan khas dan metafora yang kuat,  karya-karya Rendra kerap menggambarkan realitas sosial dan politik Indonesia dengan tajam dan kritis. Beliau memiliki kemampuan untuk meramu kata-kata yang sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam. Hal itu membuat berbagai kalangan masyarakat dapat dengan mudah menerima dan menyukai puisi-puisinya.

Dalam khazanah sastra Indonesia, Rendra tidak hanya memberikan kontribusi melalui karya-karyanya, tetapi juga menjadi guru dan mentor bagi banyak seniman muda. Di samping itu, beliau pun mendirikan sebuah Bengkel Teater yang kemudian menjadi tempat bagi banyak seniman untuk belajar dan berkembang.

Beberapa karya W.S. Rendra:

  • Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
  • Blues untuk Bonnie
  • Empat Kumpulan Sajak
  • Sajak-sajak Sepatu Tua
  • Orang-orang di Tikungan Jalan (Drama, 1954)
  • Bib Bob Rambate Rate Rata (Drama, Teater Mini Kata) – 1967
  • SEKDA (Drama, 1977)
  • Mastodon dan Burung Kondor (Drama, 1972)

Selain nama-nama tersebut, angkatan 1950 hingga 1960-an juga melahirkan banyak sastrawan pilih tanding, seperti Nh. Dini, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardojo, Ramadhan K.H. dan masih banyak lagi. Tentunya, tidak mungkin bagi saya untuk menyajikan semuanya dalam kesempatan yang terbatas ini. Meski demikian, saya berharap tulisan ini dapat menambah pemahaman kita terhadap sebuah generasi yang telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan sastra Indonesia.

Para sastrawan di dalamnya tidak sebatas menyajikan hiburan, tetapi juga menggugah kesadaran pembaca tentang berbagai isu sosial yang penting. Warisan tersebut terus berlanjut dan mempengaruhi generasi sastrawan berikutnya. Nilai-nilai humanisme, realisme, dan kritik sosial menjadi fondasi bagi perkembangan sastra Indonesia yang lebih berani dan inovatif.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *